my notes.

what life has taught me.


Leave a comment

Sebaiknya Fokus pada Penyusunan KUHP

Maraknya peredaran dan penayangan media atau pertunjukan yang berbau pornografi atau pornoaksi, serta meningkatnya tindak kejahatan seksual, yakni pelecehan, perzinahan maupun pemerkosaan, baik terhadap anak-anak maupun orang dewasa, membuat resah berbagai pihak. Demikian pula halnya dengan pemerintah. Dengan alasan itulah, pada tahun 2005, atas desakan pemerintah, DPR RI pun mempunyai insiatif untuk membahas RUU mengenai Pornografi dan Pornoaksi, yakni RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

Penyusunan RUU APP ini dinilai membawa persoalan privat ke dalam ruang publik dan pemerintah pun dianggap mengurusi moralitas rakyat. Alhasil, RUU APP ini menimbulkan debat publik dan melahirkan sikap pro dan kontra dari berbagai kalangan. Polemik mengenai apa dan bagaimana batasan pornografi dan pornoaksi pun bermunculan, baik itu dari sisi kegenderan, politis, sosiologis, teologis, seni dan sebagainya. Dalam perjalanannya pun, RUU APP yang kini menjadi RUU Pornografi tetap menjadi kontroversi.

Dalam RUU APP, Bab I Ketentuan Umum, Bagian Pertama. Pengertian, Pasal 1, menyatakan bahwa, “Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan : (1) Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika; (2) Pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum”. Sementara dalam RUU Pornografi Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 (1) menyatakan bahwa, “Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : (1) Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.

Perluasan Definisi

Secara harafiah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi berarti: (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; (2) bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks (KBBI, 1991: 782). Menurut Kamus Webster Online, ‘pornography’ merupakan kata benda, yang berarti creative activity (writing or pictures or films, etc) of no literary or artistic value other than to stimulate sexual desire.
Adapun arti bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah kegiatan kreatif (tulisan atau gambar atau film, dan sebagainya) yang tidak memiliki nilai kesusasteraan atau artistik selain untuk merangsang hasrat seksual. Dengan demikian, definisi pornografi yang tercantum dalam RUU APP dan RUU Pornografi ini jelas telah mendapatkan perluasan. Batasan pornografi dan pornoaksi yang diberikan pun tidak terumuskan dengan tepat.

Apapun judul RUU yang dibuat oleh pemerintah tersebut, baik itu RUU APP dan RUU Pornografi, rumusan multitafsir yang terkandung di dalamnya dianggap berpotensi melahirkan kekerasan baru, dapat menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada korban perempuan dan anak, dapat melanggar kebebasan seseorang untuk mengekspresikan diri atau identitas diri dan membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemahaman atau persepsi pribadi. Definisi yang tidak jelas tersebut dapat menyebabkan pasal-pasal yang tercantum menjadi pasal karet dan rancu.

Begitu juga halnya dengan unsur-unsur perbuatan pidananya yang tidak dirumuskan dengan jelas, sehingga hal ini dapat menyebabkan rentannya seseorang menjadi pelaku kriminal. Setiap orang, baik itu aparat keamanan maupun kelompok-kelompok tertentu, dapat menangkap siapapun berdasarkan interpretasi mereka, misalnya terhadap seseorang yang dianggap melakukan gerakan menyerupai hubungan seksual dan lainnya. Hal ini dapat menimbulkan lahirnya polisi-polisi moral yang akan mengawasi dan mengintervensi kehidupan privat seseorang.

Fokuskan pada Rancangan KUHP

RUU Pornografi ini pun berpeluang untuk menjadi payung hukum bagi peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif, dimana membatasi akses dan kontrol perempuan terhadap tubuh, pikiran dan mobilitasnya (Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil Tolak Pengesahan RUU Pornografi: 25 September 2008). RUU ini banyak mengandung potensi disintegrasi yang bertentangan dengan semangat keberagaman yang menjadi prinsip berbangsa dan bernegara, karena apabila terjadi disintegrasi, maka bisa memunculkan polemik nasional, khususnya menyangkut nilai-nilai sosial dan budaya, dimana nilai-nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat berlainan di masing-masing wilayah.

Secara prinsip, substansi RUU Pornografi ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah dimiliki oleh Indonesia, antara lain UUD 1945 yang diamandemen, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 10 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipil dan Politik.

Penyusunan RUU ini pun melanggar asas-asas penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana berisi tentang materi muatan peraturan perundang-undangan yang mengandung asas-asas, antara lain kebangsaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Di tengah kehidupan bangsa dan negara yang sedang sulit, penyusunan RUU Pornografi yang multitafsir ini tidaklah pada waktu yang tepat. Pada dasarnya, Indonesia sudah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang memuat tentang pornografi, antara lain KUHP, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pemerintah sebaiknya lebih memfokuskan pada penyusunan Rancangan KUHP, sehingga dapat menjadi payung umum bagi setiap produk hukum lainnya dan mengoptimalkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah ada.

(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0810/13/opi01.html)